Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 24]
Sabtu, 13 Januari 2018

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Dalam kesempatan ini kita masih melanjutkan pembahasan seputar keutamaan tauhid dan dosa-dosa yang dihapuskan dengannya. Pada bagian terdahulu telah dibawakan ayat ke-82 dari surat al-An’aam yang menunjukkan keutamaan tauhid sebagai sebab untuk meraih keamanan dan petunjuk. Setelah itu penulis Kitab Tauhid membawakan hadits Ubadah bin Shamit yang juga menjelaskan keutamaan tauhid sebagai sebab masuk surga. Setelah itu dibawakan hadits Itban bin Malik yang menunjukkan bahwa tauhid merupakan sebab selamat dari api neraka.

Selain itu apabila kita cermati di dalam hadits Itban bin Malik juga terkandung faidah yang berkaitan dengan tauhid asma’ wa shifat. Sebagaimana pernah dijelaskan pada seri terdahulu mengenai tauhid asma’ wa shifat; yaitu mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa menolak dan tanpa menyerupakan.

Allah berfirman (yang artinya), “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (asy-Syura : 11). Ayat ini merupakan kaidah agung bagi umat Islam untuk menetapkan semua nama dan sifat Allah baik yang dicantumkan dalam al-Kitab maupun as-Sunnah tanpa menyerupakan dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk. Karena sama nama belum tentu sama hakikat sebenarnya. Allah melihat tetapi penglihatan Allah berbeda dengan penglihatan makhluk. Allah mendengar tetapi pendengaran Allah berbeda dengan pendengaran makhluk. Sama nama tidak melazimkan sama hakikatnya.

Oleh sebab itu di dalam hal beriman kepada nama-nama dan sifat Allah harus menetapkan semua nama dan sifat Allah apa adanya, tanpa menolak maupun menyelewengkan kandungan artinya dan tidak boleh menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Allah maha sempurna tentu saja tidak bisa disamakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan.

Misalnya Allah memiliki nama ar-Rahman yang artinya maha penyayang. Di dalam nama itu terkandung sifat Allah menyayangi atau rahmat. Allah memiliki sifat rahmat, tetapi rahmat yang ada pada Allah tidak sama dengan rahmat yang ada pada makhluk. Salah satu bukti kasih sayang Allah itu adalah dengan turunnya air hujan, dengan diutusnya para rasul, dengan diampuninya dosa dan tidak disegerakannya azab bagi umat akhir zaman ini, dsb. Oleh sebab itu tidak boleh menolak sifat rahmat ini dengan alasan bahwa jika kita mengatakan Allah memiliki sifat rahmat/penyayang berarti kita menyamakan Allah dengan makhluk. Sebab menetapkan sifat tidak melazimkan menyamakan dzatnya. Allah mendengar -sebagaimana disebutkan dalam asy-Syura ayat 11 di atas- sedangkan manusia juga mendengar; tentu tidak bisa disamakan mendengarnya Allah dengan makhluk.

Nah, begitu pula dalam hadits Itban bin Malik ini disebutkan bahwa barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah seraya mengharapkan wajah Allah maka Allah haramkan neraka baginya. Di sini terdapat penetapan salah satu sifat Allah; yaitu Allah memiliki wajah. Perlu diingat, bahwa sama nama tidak melazimkan sama hakikatnya. Allah punya wajah, makhluk juga punya wajah, tetapi wajahnya Allah jelas berbeda dengan wajah makhluk. Sehingga ketika kita meyakini bahwa Allah punya wajah -sebagaimana disebutkan dalam ayat maupun hadits- itu tidaklah berarti kita menyerupakan Allah dengan makhluk. Karena itulah zahir dari ayat dan hadits tersebut.

Ingat ayat yang kita kutip di atas (yang artinya), “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya…” (asy-Syura : 11) maka ini menunjukkan jika kita menetapkan bahwa Allah memiliki wajah dengan dalil ayat dan hadits maka itu tidaklah berarti menyerupakan Allah dengan makhluk. Karena Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan Dia maha mendengar lagi maha melihat.” Kita meyakini bahwa Allah melihat dan mendengar dan keduanya merupakan sifat Allah, itu pun dengan berdasarkan dalil, tentu saja kita tidak menyerupakan antara Allah dengan makhluk; walaupun ada diantara makhluk yang bisa melihat dan mendengar. Ingat, sama nama tidak melazimkan sama hakikatnya!

Dalam mengimani nama dan sifat Allah ini ada dua kelompok yang menyimpang yaitu mu’aththilah dan musyabbihah. Mu’aththilah menolak nama atau sifat-sifat Allah, baik secara sebagian saja atau secara keseluruhan. Adapun musyabbihah telah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk. Kedua kelompok ini menyimpang dari jalan yang benar yaitu jalan beragama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Keutamaan Mengenal Nama dan Sifat Allah

Mengimani nama dan sifat Allah adalah bagian tak terpisahkan dari tauhid. Mengimani nama dan sifat Allah adalah bagian penting dari rukun iman yang pertama; yaitu iman kepada Allah. Bahkan dengan mengenali keagungan Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya inilah seorang hamba akan semakin dalam cintanya kepada Allah dan akan bisa merasakan kelezatan iman yang tiada tara. Karena kelezatan cinta itu berbanding lurus dengan dalamnya pengenalan terhadap Dzat yang dicintai. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan, “Barangsiapa mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya tentu akan mencintai-Nya, dan itu pasti.”

Mengenal Allah merupakan sebuah kenikmatan tiada tara yang banyak tidak dirasakan oleh manusia. Sebagian ulama salaf berkata, “Orang-orang yang malang di antara penduduk dunia ini adalah mereka yang keluar darinya -dari dunia- dan tidak sempat mencicipi kenikmatan paling lezat di dalamnya.” Lantas ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan paling lezat yang ada di dalamnya?”. Dia menjawab, “Mengenal Allah, mencintai-Nya dan merasa tentram dengan mendekatkan diri kepada-Nya serta rindu untuk berjumpa dengan-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 21)

Akan tetapi, yang dimaksudkan dengan mengenal Allah di sini bukanlah sekedar wawasan, dimana orang yang taat maupun orang bejat sama-sama memilikinya. Namun, yang dimaksud adalah pengenalan yang diiringi dengan perasaan malu kepada Allah, cinta kepada-Nya, ketergantungan hati kepada-Nya, rindu berjumpa dengan-Nya, takut kepada-Nya, bertaubat dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya, merasa tentram dengan-Nya, dan meninggalkan makhluk demi mengabdi kepada-Nya (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 22)    

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya fiqih tentang nama-nama Allah yang terindah (al-Asma’ al-Husna) adalah sebuah bidang ilmu yang sangat utama, bahkan ia merupakan fiqih yang terbesar. Ilmu ini menduduki posisi pertama-tama dan terdepan dalam kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan padanya, maka dia akan dipahamkan/difaqihkan dalam (urusan) agama.” (Muttafaq ‘alaih). Ia merupakan sebaik-baik perkara yang semestinya digapai selama hidup, sebaik-baik ilmu yang digali dan diraih oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan dan akal yang terbimbing. Bahkan ia merupakan puncak tertinggi yang menjadi target untuk berlomba-lomba dan ujung cita-cita yang menjadi tujuan bagi orang-orang yang saling bersaing dalam kebaikan. Ia merupakan pilar perjalanan hidup menuju Allah dan pintu gerbang yang tepat untuk menggapai cinta dan ridha-Nya. Ia merupakan jalan yang lurus yang ditempuh oleh orang-orang yang dicintai Allah dan dipilih-Nya.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 11)

Fiqih tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan pondasi agama seorang hamba. Sebab ia merupakan bagian utama dalam keimanan kepada Allah. Inilah pondasi yang tidak boleh dilupakan dan pilar agama yang tidak layak diabaikan. Pondasi amalan ada dua -sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah– yaitu:

  1. Mengenal Allah dengan benar, memahami perintah-perintah-Nya, nama-nama dan sifat-sifat-Nya
  2. Memurnikan ketundukan kepada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada selainnya. Kedua hal inilah pondasi paling kuat yang akan melandasi bangunan agama seorang hamba. Kekuatan dan ketinggian agama seseorang akan tergantung pada kekuatan dua hal ini (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 12)

Mengenal dan merenungkan keagungan nama-nama dan sifat-sifat Allah termasuk inti dakwah para nabi dan rasul. Diterangkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah bahwasanya dakwah para rasul itu berporos pada tiga perkara:

  1. Memperkenalkan keagungan Allah kepada hamba-hamba-Nya melalui nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan-Nya
  2. Menunjukkan dan menjelaskan kepada mereka jalan yang akan mengantarkan kepada-Nya, yaitu dengan berdzikir kepada-Nya, bersyukur dan beribadah kepada-Nya
  3. Menerangkan tentang balasan yang akan diterima sesampainya mereka di hadapan-Nya, berupa kenikmatan surga dan yang paling utama diantaranya adalah keridhaan Allah dan nikmat memandang wajah-Nya (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 16-17)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ilmu tentang Allah adalah pokok dari segala ilmu. Bahkan ia menjadi pondasi ilmu setiap hamba guna menggapai kebahagiaan dan kesempurnaan diri, bekal untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhiratnya. Sementara bodoh tentang ilmu ini menyebabkan ia bodoh tentang dirinya sendiri dan tidak mengetahui kemaslahatan dan kesempurnaan yang harus dicapainya, sehingga dia tidak mengerti apa saja yang bisa membuat jiwanya suci dan beruntung. Oleh karena itu, ilmu tentang Allah adalah jalan kebahagiaan hamba, sedangkan tidak mengetahui ilmu ini adalah sumber kebinasaan dirinya.” (lihat al-‘Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 98)

Belum Mengenal Allah

Tidaklah diragukan, bahwa nikmatnya hidup adalah dengan menundukkan diri dalam pengabdian kepada Allah. Mengabdi kepada Allah artinya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tunduk kepada-Nya dengan mengikuti ajaran rasul-Nya. Tidak mempertuhankan hawa nafsu dan perasaan, atau logika dan tradisi lingkungannya.

Akan tetapi apabila kita cermati, banyak manusia justru terjebak dalam pengabdian kepada selain Allah, apakah itu berupa berhala, sesembahan tandingan selain Allah, kuburan, thaghut, setan, jin, hawa nafsu, perasaan, tradisi dan pendapat akal pikiran semata. Banyak orang tidak sadar bahwa selama ini dirinya menghamba kepada selain Allah. Dia benci dan ridha karenanya. Dia memberi dan tidak karenanya. Dia datang dan pergi karenanya. Dia tersenyum dan tidak karenanya. Dia gembira dan sedih karenanya. Segala akal pikiran dan hawa nafsunya telah tunduk, tergila-gila, dan takluk di hadapan sesembahan selain Allah.

Oleh sebab itu di dalam al-Qur’an Allah menegur orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai pujaannya. Allah juga menegur orang-orang yang menjadikan tradisi nenek moyang sebagai standar kebenaran. Allah pun menegur orang-orang yang menjadikan pendeta dan ahli ibadah mereka sebagai sesembahan tandingan selain-Nya. Sebagaimana Allah menegur orang-orang yang beribadah dan berdoa kepada orang-orang salih dan jin atau malaikat dengan alasan supaya mereka lebih mendekatkan diri kepada Allah dan dalam rangka mencari pemberi syafaat di hadapan-Nya. Mereka adalah orang-orang yang salah jalan dan menyimpang dari kebenaran.

Sungguh menyedihkan keadaan orang-orang yang meninggalkan Allah dan menceburkan diri ke dalam jurang pengabdian kepada thaghut. Mereka telantarkan dirinya dan mencelakakan dirinya sendiri. Amal-amal kebaikan mereka pun sirna. Bagaikan debu-debu yang beterbangan, sia-sia di hadapan Rabbnya. Pada waktu mereka butuhkan amal salih tetapi ternyata semua amal kebaikan itu sirna dan lenyap sehingga tidak bisa menyelamatkan mereka dari azab-Nya. Walaupun mereka memiliki kekayaan sepenuh isi bumi, hal itu tidak bisa menebus azab Allah; karena kekafiran dan kemusyrikan yang mereka pertahankan demi hawa nafsu dan logikanya yang rusak.

Belum mengenal Allah. Inilah keadaan banyak orang. Walaupun mereka yakin bahwa Allah yang menciptakan mereka, yang memberikan rezeki kepada mereka, dan yang mematikan mereka. Akan tetapi mereka persembahkan sebagian ibadahnya kepada selain Allah, apakah itu berupa sembelihan, nadzar, istighotsah, doa, tawakal, dan lain sebagainya. Mereka mencintai sesembahan selain Allah itu sebagaimana kecintaannya kepada Allah. Mereka takut kepada sesembahannya seperti rasa takutnya kepada Allah atau bahkan lebih besar lagi. Mereka bertawakal kepadanya, cinta dan benci karenanya, harap dan takut karenanya. Betapa malang keadaan mereka…

Tidak bisa merasakan manisnya ibadah dengan ikhlas kepada Allah. Tidak bisa merasakan lezatnya dzikir dan ketaatan kepada Allah. Lisan mereka kelu, hati mereka beku, dan anggota badan mereka seolah lumpuh untuk melangkah menuju rumah-rumah Allah, untuk menghadiri majelis ilmu, untuk mendengar nasihat dan petunjuk. Mereka normal secara fisik tetapi cacat secara rohani. Jasad mereka berjalan tetapi hati mereka telah terbelenggu hawa nafsu dan terjungkal dalam pengabdian kepada setan. Mereka melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan justru dinilai sebagai kebaikan dan kemajuan. Musibah dan bencana yang sangat besar ketika seorang insan telah tertimpa keadaan semacam ini. Hanya Allah yang bisa mengentaskannya dari kehinaan, kegelapan, dan kesesatan ini. Hanya Allah yang bisa berikan taufik kepadanya…

Saudaraku yang dirahmati Allah, mengapa kita begitu tidak peduli dengan agama ini. Padahal agama ini adalah sumber kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat. Saudaraku, kepedulian kita kepada agama ini bukan karena Allah butuh kepada anda, akan tetapi sesungguhnya kita lah yang butuh kepada Allah dan bantuan dari-Nya.

Kita yang butuh kepada hidayah dari Allah dan pertolongan-Nya. Siapakah anda sehingga merasa berjasa kepada Allah? Apakah anda yang menciptakan langit dan bumi? Apakah anda yang menurunkan hujan? Apakah anda yang menumbuhkan tanam-tanaman di ladang dan sawah petani? Apakah anda yang meniupkan ruh kepada janin di dalam rahim ibunya? Apakah anda yang memberikan rezeki kepada para pegawai, pedagang dan semua orang yang mengais rezeki setiap harinya? Apakah anda yang memberikan nyawa ke dalam tubuh anda sendiri?!   

Belum mengenal Allah. Inilah sebab mengapa manusia begitu larut dalam pengabdian kepada setan dan tergoda dengan segala tipu dayanya. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebenar-benar pengagungan kepada-Nya. Mereka melupakan Allah maka Allah pun melupakan mereka. Mereka ingin menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal sebenarnya mereka tidak menipu kecuali dirinya sendiri. Betapa merugi keadaan orang-orang yang mengabdi kepada selain Allah! Dia menyangka sesembahannya bisa menolongnya, padahal pada hari kiamat semua sesembahan selain Allah akan berlepas diri dari pemujanya dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Allah pun menggambarkan bahwa keadaan orang-orang yang mengangkat sesembahan selain Allah seperti orang yang membuat rumah dari sarang laba-laba. Sesungguhnya rumah yang paling lemah itu adalah sarang laba-laba. Mereka mengira dengan sarang laba-laba bisa terlindung, padahal sarang laba-laba tidak kuat melindungi mereka. Mereka kira sarang laba-laba bisa menghindarkan mereka dari bahaya. Padahal sarang laba-laba sangat mudah ditembus dan dihancurkan dalam seketika. Wahai, apa yang membuat anda menganggap sarang laba-laba adalah istana?!

Saudaraku yang dirahmati Allah, betapa menyedihkan keadaan orang-orang yang tidak mengenal Allah secara hakiki. Mereka hanya mengenal Allah di saat musibah menimpa dan lupa kepada Allah di saat nikmat menyelimuti. Mereka mengenal Allah di saat kesenangan diperoleh di jalan-Nya namun mereka melupakan Allah di saat agama Allah butuh perjuangan dan pengorbanan. Mereka tidak mengenal Allah atau belum mengenal Allah dengan sebenarnya. Mereka hanya ingat bahwa Allah maha pengampun, sementara mereka lupa bahwa Allah maha keras siksanya. Mereka hanya ingat bahwa Allah maha pemberi rezeki tetapi mereka lupa kewajiban syukur kepada-Nya. Mereka ingat bahwa nikmat datang dari-Nya tetapi mereka lalai dari berdzikir kepada-Nya.

Banyak orang menangis dan berkabung ketika nyawa sebagian saudaranya tercabut dan pergi ke alam berikutnya. Akan tetapi betapa sedikit orang yang menangisi keadaan dirinya sendiri yang jauh dari Rabbnya, jauh dari dzikir kepada-Nya, jauh dari syukur kepada-Nya, jauh dari tawakal kepada-Nya, dan lebih akrab dan gandrung dengan sesembahan selain-Nya.

Apabila para salafus shalih dahulu menangis karena kehilangan sebuah kesempatan untuk berlomba dalam meraup pahala sementara mereka adalah generasi yang telah pendapatkan pujian dari Rabb pencipta alam semesta, adapun kondisi sebagian manusia di zaman ini -sayang seribu sayang- justru tertawa-tawa dan bergembira ria dalam keadaan mereka tenggelam dalam lembah nista dan jurang dosa!! Semoga Allah beri hidayah kepada kita dan mereka…

Bertanyalah kepada diri anda sendiri. Apa yang membuat kita jarang menangis karena Allah. Bisa jadi sudah terlalu banyak tumpukan dosa yang membendung dan ‘mematikan’ mata air taubat dan penyesalan di dalam dada. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama, bahwa keringnya mata -dari air mata taubat- adalah karena keringnya hati dari dzikir dan rasa takut kepada-Nya.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sungguh perkara yang amat mengherankan tatkala kamu telah mengenal-Nya lantas kamu justru tidak mencintai-Nya. Kamu mendengar da’i yang menyeru kepada-Nya namun kamu justru berlambat-lambat dalam memenuhi seruan-Nya. Kamu menyadari betapa besar keuntungan yang akan dicapai dengan bermuamalah dengan-Nya namun kamu justru memilih bermuamalah dengan selain-Nya. Kamu mengerti betapa berat resiko kemurkaan-Nya namun kamu justru nekat membangkang kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa pedih kegalauan yang muncul dengan bermaksiat kepada-Nya namun kamu justru tidak mau mencari ketentraman dengan cara taat kepada-Nya. Kamu bisa merasakan betapa sempitnya hati tatkala menyibukkan diri dengan selain ucapan-Nya atau pembicaraan tentang-Nya namun kemudian kamu justru tidak merindukan kelapangan hati dengan cara berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kamu pun bisa merasakan betapa tersiksanya hatimu tatkala bergantung kepada selain-Nya namun kamu justru tidak meninggalkan hal itu menuju kenikmatan yang ada dalam pengabdian serta kembali bertaubat dan taat kepada-Nya. Dan yang lebih aneh lagi daripada ini semua adalah kesadaranmu bahwa kamu pasti membutuhkan-Nya dan bahwa Dia merupakan dzat yang paling kamu perlukan, akan tetapi kamu justru berpaling dari-Nya dan mencari-cari sesuatu yang menjauhkan dirimu dari-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 45 cet. Dar al-‘Aqidah)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah berhala, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu adalah hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fi at-Tarbiyah wa al-Ishlah, hal. 41)

Jangan Salah Persepsi!

Allah tersucikan dari perbuatan yang sia-sia. Tidak mungkin Allah melakukan sesuatu tanpa ada hikmah dan tujuan. Begitu pula diciptakannya manusia, bukan perkara yang sia-sia atau main-main belaka. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa dia akan ditinggalkan begitu saja.” (al-Qiyamah : 36)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa maksudnya manusia tidak dibiarkan dalam keadaan terlantar dan tidak diperhatikan tanpa ada perintah dan larangan untuk mereka, tidak ada pahala dan tidak ada hukuman. Pertanyaan ini menunjukkan bahwa kesempurnaan hikmah dan perbuatan Allah merupakan perkara yang telah tertanam di dalam fitrah dan akal manusia (lihat dalam Miftah Dar as-Sa’adah, 1/117 tahqiq Syaikh Ali al-Halabi)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian demi kesia-siaan dan bahwa kalian tidak dikembalikan kepada Kami, maka Maha tinggi Allah Raja Yang Maha benar, tiada sesembahan -yang benar- selain Dia, Rabb pemilik Arsy yang mulia.” (al-Mu’minun : 115-116)

Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya kalian diciptakan adalah dalam rangka beribadah dan menegakkan perintah-perintah Allah ta’ala.” (lihat dalam tafsir beliau yang berjudul Ma’alim at-Tanzil, hal. 889)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya; yaitu tunduk kepada perintah dan larangan-Nya. Allah menciptakan kita untuk memurnikan segala bentuk ibadah kepada-Nya dan meninggalkan segala bentuk sesembahan selain Allah.

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama/amal untuk-Nya dengan hanif, dan mendirikan sholat serta menunaikan zakat. Dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat dan Injil kecuali supaya memurnikan ibadah kepada Allah dengan penuh ketauhidan.” (disebutkan oleh Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya Ma’alim at-Tanzil, hal. 1426)

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menafsirkan ‘memurnikan agama untuk-Nya’ dengan makna, “Yaitu dalam keadaan bertauhid, sehingga mereka tidak beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Zaadul Masiir fi ‘Ilmi at-Tafsiir oleh Ibnul Jauzi, hal. 1576)

Syaikh Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa dari ayat ini kita bisa memetik pelajaran bahwasanya hakikat tauhid itu adalah keikhlasan kepada Allah tanpa ada sedikit pun kecondongan kepada syirik. Oleh sebab itu barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah bukanlah orang yang bertauhid. Begitu pula barangsiapa menjadikan ibadahnya dia tujukan kepada selain Allah maka dia juga bukan orang yang bertauhid (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 76-77)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (al-Anbiyaa’ : 25)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/beribadah bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 19)

Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menyeru bersama Allah sesembahan yang lain sesuatu yang jelas tidak ada bukti kuat untuk itu, sesungguhnya perhitungannya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang yang kafir itu.” (al-Mu’minun : 117)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabbmu telah memerintahkan; bahwa janganlah kalian menyembah kecuali hanya kepada-Nya.” (al-Israa’ : 23)

Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)

Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Ibadah itu sendiri merupakan perpaduan antara kecintaan dan ketundukan. Apabila ia ditujukan kepada Allah semata maka jadilah ia ibadah yang tegak di atas tauhid, sedangkan apabila ia ditujukan kepada selain-Nya maka ia menjadi ibadah yang tegak di atas syirik. Ibadah kepada Allah yang sesuai dengan syari’at disebut ibadah yang syar’iyah, sedangkan ibadah yang menyelisihi tuntunan syari’at disebut sebagai ibadah yang bid’ah (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam oleh Syaikh Shalih bin Abdillah al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 9)

Tauhid kepada Allah ditegakkan di atas ikhlas dan shidq/kejujuran dan ketulusan. Ikhlas adalah mengesakan Dzat yang dikehendaki dan disembah; yaitu dengan tidak mengangkat sekutu atau sesembahan lain bersama-Nya, sehingga dia hanya beribadah kepada Allah semata. Adapun shidq artinya mengesakan keinginan dan kehendak yaitu dengan menyatukan tekad dan keinginan untuk menunaikan ibadah secara sempurna dan tidak menyibukkan hatinya dengan hal-hal selainnya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ikhlas bermakna mengesakan Dzat yang dikehendaki, sedangkan shidq adalah menunggalkan keinginan (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam ash-Shidqu ma’a Allah, hal. 13)

Barangsiapa yang tidak ikhlas dalam mewujudkan makna kalimat laa ilaha illallah maka dia adalah orang musyrik -karena ia telah beribadah kepada selain-Nya-. Dan barangsiapa yang tidak shidq/jujur dalam mengucapkan kalimat laa ilaha illallah maka dia adalah orang munafik. Allah berfirman (yang artinya), “Apabila datang kepadamu orang-orang munafik, mereka berkata ‘Kami bersaksi bahwasanya kamu adalah benar-benar utusan Allah’. Allah benar-benar mengetahui bahwa kamu sungguh rasul-Nya, dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (al-Munafiqun : 1) (lihat ash-Shidqu ma’a Allah, hal. 16)

Ikhlas dalam beramal merupakan pilar dan pondasi setiap amal salih. Inilah landasan tegaknya kesahihan amal dan sebab diterimanya amal di sisi Allah, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) merupakan pilar kedua untuk terwujudnya amal salih yang diterima di sisi Allah. Kedua pilar ini ditunjukkan oleh firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110) (lihat keterangan Syaikh Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hafizhahullah dalam Tajrid al-Ittiba’, hal. 49)

Untuk Kepentingan Siapa Ibadah Itu?

Allah menceritakan perkataan Nabi Musa ‘alaihis salam kepada Bani Isra’il (yang artinya), “Jika kalian kafir dan juga seluruh yang ada di bumi, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Ibrahim : 8)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka maslahat ibadah tidaklah kembali kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan mereka dan tidak juga ibadah-ibadah mereka. Seandainya mereka semua kafir maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan Allah sama sekali. Dan seandainya mereka semua taat maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa di dalam kerajaan-Nya.” (Da’watu at-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hal. 8)

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang paling pertama sampai yang paling terakhir diantara kalian dari kalangan manusia atau jin, mereka semua memiliki hati yang paling bertakwa diantara kalian maka hal itu tidak akan menambah sedikit pun dalam kerajaan-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama hingga paling terakhir diantara kalian dari kalangan manusia dan jin, semuanya memiliki hati yang fajir/jahat sejahat-jahatnya hati diantara kalian, maka hal itu pun tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku.” (HR. Muslim dari Abu Dzarr radhiyallahu’anhu

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kita dan tidak pula kepada ibadah-ibadah kita. Akan tetapi sesungguhnya kita inilah yang membutuhkan ibadah kepada Allah; supaya mendekatkan diri kita kepada-Nya, agar kita bisa sampai kepada Rabb kita ‘azza wa jalla, dan memperkenalkan diri kita kepada-Nya, maka dengan itu kita akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.” (Da’watu at-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hal. 9)

Ketika menjelaskan faidah hadits di atas, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafizhahullah berkata, “Dan bahwasanya ketakwaan setiap insan sesungguhnya akan memberikan manfaat bagi orang yang bertakwa itu sendiri. Demikian pula kefajiran/maksiat yang dilakukan oleh setiap orang yang fajir maka itu pun hanya akan membahayakan dirinya sendiri.” (Kutub wa Rasa’il, 3/157)

Demikian sedikit catatan faidah yang bisa kami sajikan, semoga bermanfaat.

Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-24/